Advertisement

Responsive Advertisement

Sunday 29 March 2015

Never Felt so Tired

Hari minggu dan bangun jam sembilan karena pertanyaan "mau nasi lemak ga?" dari balik pintu kamar.  Bisa disebut bangun pagi di hari minggu kan yaa? buru kalungin rangkaian bunga dan berikan saya rekor MURI.  Yaa, sebenarnya sebelumnya pernah bangun lebih pagi dari ini, Minggu kemarin bangun jam setengah lapan kok karna harus kerja jam sembilan. Jadi ini berupa rekor MURI "bangun pagi di hari minggu yang merupakan hari libur bukan karna harus kerja tertanggal 29 Maret 2015". Gitu. Iya maksa, iya emang judul MURInya kepanjangan.

Sebenarnya milih ga bangun pagi di hari minggu itu ada alasannya kok:

Satu. Memanfaatkan peluang. Karna di hari yang bukan merupakan hari libur gakan ada peluang bangun siangnya. Sekalipun ada, setelah bangun siang di hari kerja itu terjadi, maka harus rela ngebujuk bos yang ngambek di tempat kerja, atau dosen di kampus, atau siapapun mau anda. Parahnya lagi kalau di DO atau di depak dari tempat kerja. Bayangkan betapa berharganya peluang bangun siang di hari libur itu. 

Dua. Aku terhipnotis karena melihat bantal dalam-dalam, terus masuk ke alam bawah sadar hingga akhirnya tertidur. Hal ini terjadi lebih dari 14 kali.

Tiga. Kasurku layaknya kutub utara magnet dan tubuhku adalah kutub selatan magnet.

Empat. Ada mimpi-mimpi yang harus ku selesaikan agar tidak berakhir dengan tulisan "bersambung". Biarkanlah sinetron saja yang berakhiran dengan kata-kata itu.

Lima. Iya, aku ga punya rencana jalan sama pacar.

dll. (bikin dll biar cepat)

Jadi nih yaa, hari ini bangun jam sembilan, punya rencana jalan sama kakak kelas dan pacarnya. Dan aku juga mengajak bayanganku biar ga dianggap "obat nyamuk bakar". Cuma rencana itu terancam batal karna adanya air dengan diameter 1cm yang menjatuhkan diri dari gumpalan awan-awan. Hingga akhirnya rencana itu batal beneran karna ada message yang intinya begini, "tolong print tugas trus di antar ke rumah dosennya ya". Dan sms itu tiba-tiba muncul disaat hujan udah reda. Inilah yang bikin kesel, ketika ga ada kerjaan apa-apa gada rencana dan gada yang ngajak, tapi pas ada rencana dan ada yang ngajak malah bermunculan kerjaan-kerjaan pembatal rencana.

Aku diem bentar. Mikir. Nyari strategi biar pembatalan rencana berjalan lancar. Mutusin buat jujur dan mengutarakan kronologi kejadian yang sebenarnya. Emang sang kakak kelas ga marah dan malah bilang, "yaudah jalannya nanti aja kalau udah ga sibuk ya, de. Semangat!". Perasaan campur aduk, iya seneng di semangatin, (biasa jomblo gada yang nyemangatin) walaupun sempet mikir ini maksudnya semangat untuk apa dan ngambil kesimpulan sendiri, "mungkin ini semangat untuk ngerjain tugas kuliahnya". Daaaan, ngerasa ga enakan juga karna rencananya gajadi..

Tapi bisa apa? Kuliah wajib selese biar ga ngeluh-ngeluh tugas susah dan banyak, dosen yang begini begitu, ruang kelas di lantai empat bikin bengek dadakan, jalan ke kampus penuh dengan orang-orang ga sabaran dengan tangan yang menekan kencang klakson didepannya, dan bejibun keluhan-keluhan lainnya yang bikin pengen jadi anak angkat Bill Gates aja.

Tepat setelah pembatalan rencana itu, ada line masuk dari Lina.

Ngajakin sepedaan. Dan ku jawab "iya ayok, sambil ngantar proposal ke rumah dosen".
Dia nanya "yakiin?"
Gangerti kenapa dengan mantapnya ku jawab "yakiiiiin"

Haruskah aku merasa bersalah karena setelah pembatalan rencana kemudian mengiyakan hal yang ga dirancanakan? Bisakah aku membela diri dengan bilang kalau ini niatnya demi TUGAS?

Beneran yaa, waktu di hari libur itu berjalan lebih cepat. Ga berasa jarum jam udah mengarah ke angka 5. Ku perhatiin lagi tugas yang udah di edit, udah diprint, dan udah dikliping.. udah siap di antar ke rumah dosen yang jaraknya ntah berapa kilometer tapi akan memakan waktu sekitar 8 menitan kalo naik motor. Kalau naik sepeda kira-kira berapa lama yaaaaaaaaaa? 

Yaudah, ke rumah Lina dulu (iya yang difoto itu), parkirin motor di depan rumahnya dan minjem sepedanya. Iya minjem dulu, gapunya sepeda. Jarang mainan sepeda soalnya, jadi kan sia-sia juga kalo beli. (Ini alasan ajabiasanya pernyataan pembelaan dari yang ga mampu beli.. seperti saya). 

Jadi kita mulai jalan kan nih, lima puluhan meter dari rumah Lina, dia nanya "Yakiiiiin?". Ku jawab, "yakin" soalnya berasa ringan-ringan aja sepedaan di jalanan yang masih datar. "Yakiiiiiiiin?" dia nanya lagi, aku ga jawab, konsen ngayuh dan mikir, kok berat banget. Perasaan dulu pas SD tanjakannya lebih tinggi tapi santai-santai aja bawanya. Di sama-samain dengan pas masih SD? Iyalah ga sama. Pas SD berat badanku jauh lebih ringan dibanding sekarang, dan duluuuuu sepedaan itu rutin tiap pulang pergi sekolah. Sekarang? Sepedaan ga pernah, olahraga ga pernah, jalan kaki juga kepaksa. Save energy banget.

Keringat segede gajah mulai bercucuran, pengen sujud syukur rasanya bisa keluar keringat begini. Udah lama ga keringatan. Selama ini keringat bintik-bintik cuma muncul diatas dan dibawah bibir itu, ga lebih. Capek. Rasanya pengen turun dan jalan kaki aja ngegiring sepedanya ditiap tanjakan, tapi kaki ini milih tetap ngayuh sepeda berat itu walopun udah gemeteran, pegel parah, dan bikin ngos-ngosan akut.. 

"Semangat! Demi Tugas!" suaranya Lina masih kedengaran semangat banget, kedengaran kayak orang yang ga lagi sepedaan, bisa ya ini anak kakinya terus muter ngayuh sepeda dan selalu di depanku dengan jarak yang lumayan jauh, bahkan dia beberapa kali berhenti nungguin di depan. Mungkin khawatir kalo aku tiba-tiba di temukan ga sadarkan diri karna ga kuat ngayuh sepeda ditanjakan. Tanjakannya bejibun pula. Aku berharap semua jalanan itu turunan semua, gada yang nanjak satu sentipun. Mungkin akan ku realisasikan setelah membeli Batam. 

Capek. Tapi terus nyoba untuk move on ngayuh. 

Kurang lebih satu jam-an di jalanan, akhirnya mulai terlihat huruf-huruf besar warna merah yang bertuliskan nama perumahan dimana dosenku membangun rumahnya, eh tar, membangun? kata-kata yang lebih tepatnya adalah membeli, karna yang membangun rumah itu tukang bangunannya, bukan dosenku. Membeli? Kalau yang ini aku juga kurang tau kebenarannya. Rumah itu bisajadi dibeli oleh dosenku, suaminya, atau orangtuanya, atau malah hadiah dari mantannya. Yang jelas, di perumahan itulah tempat yang ada banyak sekali rumah. Hingga aku kesulitan menemukan alamat dosenku, aku dan lina sudah bertanya ke setiap ibu-ibu dan bapak-bapak yang ada disana, memaksa kami untuk terus mengayuh sepeda lebih jauh lagi dan melewati tempat yang sama berkali-kali. Di detik-detik perasaan ingin menyerah mulai menggerogoti tubuh yang lelah. Kami menemukan rumah, bukan rumah dosenku, tapi rumah seseorang yang tahu dimana dosenku tinggal.

Awalnya agak ragu karena alamatnya berbeda dengan alamat yang diberikan oleh teman sekelasku. Aku memastikan dengan mengetuk pintu rumah di alamat berbeda tersebut. Muncullah sosok seorang bapak-bapak yang mengaku sebagai suami dari dosenku. Dengan cepat ku titipkan tugas tersebut dan bergegas pulang. Lelah yang sama seperti perjalanan pergi tadi. Perjalanan pulangku dipenuhi dengan harapan "andai saja ada orang baik yang rela mengganti mobil beserta sopirnya dengan sepeda itu, maka aku akan menjual mobil tersebut setelah sampai dirumah. Lalu membeli sepeda yang sama dengan sepeda Lina yang telah ku berikan ke pemilik mobil tadi. Intinya, di kepalaku dipenuhi dengan bayangan ketika aku tiba dirumah dan beristirahat yang panjang."











No comments:

Post a Comment