Advertisement

Responsive Advertisement

Thursday 1 November 2018

ADA CABE UNGU

"Udah tau mau kemana?" dia menanyakan pertanyaan yang keseringan ku jawab dengan ngucapin "Ga tau", termasuk yang kali ini.
"Yaudah, kita cari pot sama polybag dulu aja." dengan cepat dia memutuskan keputusan yang ga disepakati bersama. 

Tapi akhirnya ku ngikutin aja kemanapun arah angin membawaku dia ngebelok-belokin motor. Dijalan yang kanan kirinya ruko, ada satu tempat yang jual pot. Kita jalan pelan, dan rupanya yang jual pot ada juga disebelahnya lagi, diseberangnya juga. Kita jalan terus disepanjang gang itu untuk milih tempat yang bagus pot-potnya. Tapi syukurlah kami bukan Aristoteles yang diperintahkan Plato untuk berjalan lurus di taman bunga yang luas dan memilih satu bunga yang menurutnya indah tanpa berbalik arah. Jadi kami akhirnya bisa muter balik dan berhenti di tempat yang pertama kali dilihat. Dia ngeliatin pot-pot yang ada disitu, dibolak balik yang akupun ga ngerti supaya apa. Quality control? mungkin. 

"Yang ini harganya berapa?" tanya Sugeng sambil megang  pot warna coklat kemerahan.
"30 ribu." jawaban penjualnya yang bikin ku mikir kalo harga pot rupanya ga semurah yang ku kira.
Tapi kemudian, "Kenapa ga yang hitam, itu cuma 15 ribu aja." sambung penjual seakan mengerti arti dari keheningan kami berdua. Dia langsung ngambil dua pot warna hitam, dan bayar. Sekalian nanya juga, ada jual polybag atau ngga. Rupanya ngga. Ku sempat nanya ke toko yang khusus jual plastik disebelah toko pot itu, dan ngga ada juga.

Dimana nyari polybag dikota ini? 

"Masa iya ke Toko Tani?" dia mulai ngeluh karna ga nemu-nemu penjual polybag.
"Dimana itu?" tanyaku yang kemudian dia jawab dengan nyebutin sebuah tempat yang lumayan jauh.
"Tapi disana lengkap, ada polybag, dan ada bibit juga." penjelasan dia ga bikin aku tergugah untuk ke tempat itu, kebayang jauhnya. Ga jauh-jauh banget sebenarnya, tapi semakin kesini rasanya semakin males untuk lama-lama dijalan. Bisajadi faktor U.
"Kalau di tomat ini ada ga yaa?" tanya dia yang nyebutin nama toko yang semua barang didalamnya harganya sama mulai dari lantai dasar dan lantai diatasnya. Kebetulan lagi lewat situ.
"Kayanya ada, ku pernah liat." ku ngejawab disaat "tomat" udah lewat, jadi kita muter balik lumayan jauh untuk sampe ke toko itu lagi. Efek pelebaran jalan yang benar-benar lebar.

Dia parkirin motor dulu, ransel yang lumayan berat juga ku kasih ke dia, dan ku langsung jalan kearah kasir untuk nanyain soal polybag. Polybagnya ga ada, tapi kalo pot ada dilantai atas. Jawaban kasir yang bikin kita mutusin untuk tetap liat-liat dan menaiki tangga. Ada banyak banget pilihan pot yang bagus-bagus yang lumayan bikin dia nyesal karna harganya dua kali lebih murah. Cuma Rp. 7500,-. Dianggap infaq buat dua pot yang dia beli sebelumnya.

Sementara dia milih-milih pot, ku liat ke rak lainnya. Banyak banget barang-barang bagus, gimana bisa semua harganya 7500. Puas ngeliatin semua barang disetiap rak, ku balik ke tempat yang ada tumpukan pot tadi. Udah ada banyak pot ditangannya, satu pot besar dan banyak pot kecil, juga 3 pot paling kecil yang ku pilih yang niatnya untuk pengganti polybag. Kita turun ke lantai dasar, disitu lebih banyak lagi barang-barang keperluan rumah tangga, ada makanan juga. Ku liat dia ngambil gergaji kecil, sempat takjub karna bahkan ada jual gergaji seharga 7500 disitu. Ya kecil sih gergajinya, dan ga yakin juga akan ga patah kalo dipatahin ngegergaji batang pohon jambu depan rumah dia yang katanya mau dipotong beberapa rantingnya. Kita ke kasir, bayar, dan bawa pulang banyak pot. Gajadi beli polybag. 

Kita jalan lagi, yang ku pikir jalan balik, tapi dia belok ke arah yang ku gatau tujuannya kemana. 

"loh? kemana?"
"cari tanah hitam dulu."

Yap, dikota ini tanahnya merah. Tanah hitam mesti beli di penjual tanaman yang kebanyakan buka lapak di pinggiran jalan raya, positifnya jalanan jadi terlihat asri. Lumayan mengurangi budget pengeluaran dinas pertamanan ga sih ini? atau malah nambah pemasukan? Back to the topic, kita udah melewati beberapa tempat, hingga kemudian berhenti. Ada banyak tanaman, dan beberapa karung yang berisikan tanah hitam. Ku berjalan agak beberapa langkah untuk mencari penjualnya, hingga akhirnya menemukannya sedang merapikan tanaman. Ramah sekali. Kami dipersilahkan untuk liat-liat tanaman terlebih dahulu, ga masalah kalau belinya berbulan-bulan kemudian sekalipun. 

Disana ada tanaman yang ku ga pernah lihat sama sekali, CABE UNGU. Iya, cabenya warna ungu. Ku norak banget dan langsung ngeluarin hp untuk foto cabenya. Ini dibawah:



Ada yang warna merah juga, ku gatau pasti, tapi ku berasumsi kalo cabe ungu ini pas udah tua ya warnanya jadi merah juga. Makanya ga pernah nemu cabe ungu di pasar.


Ini yang di atas, dia bilang mau bikin kayak gini untuk tanaman-tanamannya. Ya bagus sih, kalo udah jadi biar di bikinin juga di rumah abah hahaha.

 



Sebenarnya udah sedari lama ku pengen liat apa aja isi dari "tempat penjual tanaman" ini, ku bingung nyebut nama tempatnya apa. Sebut saja kebun, emang kebun kayanya yaa. Nah, ternyata di kebun ini ada banyak banget jenis tanaman yang aku gatau namanya. Cantik-cantik, kayanya seru kalo tiap hari berkebun dan ngerawat tanaman. Tapi ku ga bakat. Pernah, ku nanam mawar. Menurut teori, mawar bisa ditanam dengan hanya menancapkan batangnya ke tanah. Ku lakukan sesuai teori, layu dan mati. Sampe ku beli mawar se-pot-pot-nya sekalian, ku sirami pagi dan sore, mati juga. Ku cuma sekali berhasil, nanam bawang merah yang numbuh tunas. Hidup, dan tumbuh sekitar 30cm, tapi daunnya kemudian habis dimakan ayam. Ku cabut aja, berharap bawangnya nambah satu, gataunya cuma akar. Bawangnya hilang. Ku juga bingung itu proses hilangnya gimana. 

Maka dari itu, ku takjub liat dia bisa nanam cabe, tomat, anggur, rambutan, durian, kangkung, kemangi, dll. Itu pada tumbuh semua. Ku nanam cabe, sampe cabe mamak habis ku tabur dikanan, kiri belakang rumah, ga satupun yang tumbuh. Mulai dari kangkung, pohon ceri, leci, dan banyak lagi, itu semua udah ku coba tanam berkali-kali. Tapi stok kegagalanku rupanya belum habis.



Setelah puas melihat-lihat, kita jalan ke arah motor terparkir. Beli 2 karung tanah yang ku kira harganya mahal ( ternyata sekarungnya 10ribu), kemudian jalan pulang. 

"Jadi nanam seledri?" ku tanya begitu pas dilampu merah.
"Belum, gada bibitnya."
"Seledri itu ketumbar kan?"
"Iya. Belilah yang bungkusan kecil itu. Bisa kok ditanam pakai itu."
"Yang bubuk ya?"
"Ngapa ga sekalian aja masako? Biar semuanya."

Ku ngakak untuk obrolan receh ku dan dia disepanjang jalan. 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mengenai ini:

Seledri = Ketumbar 

ternyata 

Seledri ≠ Ketumbar

Jadi, Daun Seledri  ≠ Daun Ketumbar ≠ Daun Peterseli

No comments:

Post a Comment